SKRIPSI HKI
Batas Minimal Usia Perkawinan Dalam Perspektif Maqashid Syariah (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No.30-74/PUU-XII/2014)
Batas minimal usia perkawinan yang tertuang dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 mendapat reaksi dari sejumlah lembaga dan aktivis yang tergabung dalam koalisi 18+ yang kemudian mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi agar pasal mengenai ketentuan usia tersebut dirubah yang tadinya 16 tahun menjadi 18 tahun, alasannya antara lain, peraturan tersebut bertentangan dengan aturan yang lain, dan secara tidak langsung melegalkan perkawinan anak yang menimbulkan berbagai macam masalah sosial. Namun oleh Mahkamah Konstitusi permohonan tersebut ditolak secara keseluruhan.
Dalam penelitian ini, penulis merumuskan dua rumusan masalah; Pertama, Bagaimana pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi tentang batas minimal usia perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?. Kedua, Bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30-74/PUU-XII/2014 dilihat dari perspektif maqashid syari’ah?
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan filosofis. Bahan hukum dari penelitian ini berasal dari bahan hukum kepustakaan, seperti Undang-Undang dan putusan Mahkamah Konstitusi, kemudian juga ada literatur-literatur yang terkait. Sifat penelitian preskriptif atau memberikan penilaian terhadap hasil penelitian apakah putusan Mahkamah Konstitusi ini sudah memenuhi kriteria kemaslahatan berdasarkan perspektif maqoshid syari’ah atau belum,dengan metode content analysis yaitu memeriksa dokumen secara sistematik dan objektif untuk mendapatkan kesimpulan.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi berdasarkan pada hukum agama terutama agama Islam yang menyatakan tidak ada batas minimal usia perkawinan yang ada adalah apabila sudah aqil baligh. Dan tujuan pembatasan usia minimal perkawinan dalam perspektif maqashid syari’ah termasuk dalam katagori dharuriyat (priemer), karena dengan adanya batasan minimal usia perkawinan tersebut dapat menjamin atau menjaga lima unsur pokok (kulliyatul khams) untuk mencapai kemaslahatan, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Jika kesenjangan antara usia baligh dan usia menikah terlalu jauh, maka akan menimbulkan ekses negatif dan tiang syariat tersebut sulit untuk ditegakan dan dilaksanakan, maka kemaslahatan akan hilang dan tidak terwujud. Bahkan kerugian dan kerusakan yang akan terjadi
Kata Kunci: Batas Usia Perkawinan, Putusan Mahkamah Konstitusi, Maqashid Syari’ah
18SK1811038.00 | SK HKI 18.038 WAH b | My Library (Lantai 2, Tandon) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain