BUKU
Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media
BERITA TIDAK BEBAS NILAI DAN IDEOLOGI, PERLU DIANALISIS
Di era digitalisasi dan keterbukaan informasi saat ini, masyarakat harus semakin jeli dalam memilih berita agar tidak mudah terprovokasi, tidak mengikuti agenda setting media serta masih dapat mempertahankan “netralitas”nya sebagai pembaca.
Untuk itu, pembaca harus mencoba menelisik lebih jauh “bagaimana” dan “mengapa” berita-berita itu dihadirkan, maka kita akan segera mengetahui bahwa terdapat motif politik dan ideologis tertentu yang tersembunyi di balik teks-teks berita tersebut. Cara membaca yang lebih mendalam dan jauh ini disebut dengan analisis wacana.
Analisis wacana adalah alternatif terhadap kebuntuan-kebuntuan dalam analisis media yang selama ini lebih didominasi analisis isi konvensional dengan paradigm positivis atau kontruktivisnya.
Melalui analisis wacana, kita akan tahu bukan hanya bagaimana isi teks berita, tetapi bagaimana dan mengapa pesan itu dihadirkan. Bahkan, kita bisa lebih jauh membongkar penyalahgunaan kekuasaan, dominasi, dan ketidakadilan yang dijalankan dan diproduksi secara samar melalui teks-teks berita.
Menurut Dr. Deddy N Hidayat dalam kata pengantar buku ini, analisis wacana atau critical discourse analysis tidak saja untuk melakukan textual interrogation tetapi juga untuk mempertautkan hasil interograsi tersebut dengan konteks makro yang “tersembunyi” di balik teks, sehingga suatu academic exercise ataupun dalam rangka upaya penyadaran, pemberdayaan dan transformasi sosial (halaman ix).
Analisa wacana memperhatikan dan menganalisis teks berita melalui kata, frasa, kalimat, metafora macam apa berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna tersembunyi dari suatu teks.
Salah satu kekuatan dari analisis wacana adalah kemampuannya untuk melihat dan membongkar praktik ideologi dalam media.
Paling tidak ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana yaitu :
Pertama, pandangan kaum positivismeempiris, dimana bahasa dilihat sebagai jembatan antara manusia dengan obyek di luar dirinya.
Menurut kelompok ini, wacana diukur dengan mempertimbangkan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan semantik.
Kedua, pandangan konstruktivisme yang banyak dipengaruhi pemikiran fenomenologi. Menurut kelompok ini, analisis wacana dimaksudkan sebagai analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.
Ketiga, pandangan kritis. Menurut pandangan ini, analisis wacana kritis melihat bahasa sebagai faktor penting yakni bagaimana bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan kekuasaan dalam masyarakat terjadi.
Karakteristik dari analisis wacana kritis mengandung lima prinsip yaitu tindakan, konteks, historis, kekuasaan dan ideologi. Terkait dengan tindakan, ada dua konsekuensi dalam memandang wacana yaitu wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan untuk mempengaruhi, mendebat, menyangga, membujuk, bereaksi dll dan wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar atau terkontrol.
Dalam buku yang terdiri dari 12 bab ini, banyak menggambarkan pemikiran-pemikiran cerdas beberapa tokoh terkait dengan komunikasi massa dan pemberitaan media.
Michael Faucoult dalam teori wacana misalnya wacana harus dipahami tidak hanya sebagai serangkaian kata, tetapi sesuatu yang memproduksi yang lain seperti gagasan, konsep atau efek.
Menurut Faucoult, mereka yang memiliki pengetahuan akan memiliki kekuasaan, karena akan mampu mengontrol wacana yang berkembang (hal 65).
Dalam konteks hubungan antara pembuat berita dengan pembaca, teori Faucoult dikembangkan Stuart Hall. Hall mengelompokkan dalam tiga jenis hubungan antara penulis dan pembaca yaitu :
Pertama, posisi pembacaan dominan. Penulis menggunakan kode-kode yang bersifat umum dan dapat diterima secara langsung oleh pembaca. Kondisi ini tercipta jika penulis dan pembaca mempunyai ideologi yang sama.
Kedua, pembacaan yang dinegosiasikan, yaitu apa yang dikemukakan penulis belum secara langsung dapat diterima khalayak, namun masih menegosiasikan dengan berbagai pertimbangan kepercayaan dan keyakinannya.
Ketiga, pembacaan oposisi yang banyak ditentukan oleh ideologi pembaca dalam menganalisis sebuah berita/wacana (halaman 97).
Sedangkan teori ideologi yang dikembangkan Althusser, pada dasarnya ada dua dimensi hakiki negara yaitu Repressive State Aparatus (RSA) dan Ideological State Aparatus (ISA).
RSA dijalankan dengan cara memaksa, sedangkan ISA dilakukan dengan jalan mempengaruhi. Media massa menurut Althusser termasuk golongan ISA.
Antonio Gramsci dalam konsep hegemoni menilai, media dapat dijadikan sarana suatu kelompok untuk mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain.
Kecenderungan media untuk lebih memberi tempat pada pendapat pengusaha daripada pekerja atau petani atau menggunakan prinsip name make news banyak dipengaruhi pemikiran Gramsci (halaman 105).
Dalam membuat analisis wacana, harus dilihat dari bagaimana cara media memaknai realitas ? Ada dua proses besar yang dilakukan media yaitu memilih fakta dan menuliskan fakta.
Pilihan kata-kata tertentu yang dipakai tidak sekadar teknis jurnalistik, tetapi bagian penting dari representasi. Disamping itu tidak menutup kemungkinan media salah dalam melakukan penggambaran atas suatu realitas yang disebut dengan misrepresentasi yang dapat dilakukan media, dengan empat cara yaitu ekskomunikasi yaitu bagaimana seseorang atau kelompok dikeluarkan dari pembicaraan publik, eksklusi (bagaimana seseorang atau kelompok dikucilkan dari pemberitaan).
Menurut Faucoult, eksklusi dapat dilakukan dengan pembatasan apa yang bisa dan tidak bisa dimuat dan membuat klarifikasi mana yang boleh dan tidak boleh.
Misrepresentasi juga dapat dilakukan melalui marjinalisasi atau penggambaran yang buruk terhadap kelompok lain melalui eufemisme (penghalusan bahasa), disfemisme (bahasa pengasaran), labelisasi dan stereotype.
Misrepresentasi juga dapat terjadi karena delegitimasi yaitu bagaimana seseorang atau kelompok dianggap tidak sah. Bahasa yang legitimate sering muncul melalui pemakaian jargon dan alasan-alasan legal formal.
Menurut Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress dan Tony Trew dalam critical linguistics melihat bagaimana tata bahasa atau grammar tertentu dan pilihan kosakata tertentu membawa implikasi dan ideologi tertentu.
Theo van Leeuwen pada intinya menekankan bagaimana kelompok ditampilkan melalui media. Ada dua cara yaitu pertama, eksklusi atau proses pengeluaran melalui pasivasi (membuat kalimat pasif sehingga subyek menjadi kabur), nomalisasi (merubah kata kerja menjadi kata benda dengan “pe-an”).
Kedua, inklusi atau proses pemasukan melalui deferensiasi-indiferensiasi, objektivasi-abstraksi, nominasi-kategorisasi, nominasi-identifikasi, determinasi (anonym karena bukti belum cukup kuat)-indeterminasi, asimilasi (banyak)-individualisasi, dan asosiasi (glorifikasi)-disasosiasi.
Sara Mills banyak menulis teori wacana dari Faucoult, namun dalam perspektif feminis dengan titik perhatian adalah menunjukkan bagaimana teks bias dalam menampilkan wanita. Sara Mills menekankan pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks.
16TD160717.00 | TD 401.41 ERI a | My Library (Lantai 2, Tandon) | Tersedia |
16SR160717.01 | SR 401.41 ERI a C.1 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
16SR160717.02 | SR 401.41 ERI a C.2 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
16SR160717.03 | SR 401.41 ERI a C.3 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
16SR160717.04 | SR 401.41 ERI a C.4 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain