BUKU
Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir
Sejak diturunkan 14 abad silam, kitab suci Al-Quran hingga kini telah melahirkan aneka literatur tafsir yang luar biasa jumlah dan jenisnya. Ratusan ribu lembar tafsir berusaha membuka tabir 6000-an ayat Al-Quran. Sebagai teks turunan, berbagai macam literatur tafsir tersebut sudah tentu memiliki banyak perbedaan. Mulai corak, pendekatan, hingga metode penafsiran yang dipakai sang penafsir pun beragam.
Keberagaman karya tafsir di satu sisi sungguh membanggakan. Karena, dibanding kitab suci lainnya, hanya Quran-lah yang paling banyak ditafsiri. Meski demikian, kondisi ini juga memprihatinkan. Pasalnya, di antara sejumlah karya tafsir tersebut di(ter)sisipkan kepentingan penafsir. Mulai kepentingan ideologis, ekonomis, politis, saintis, hingga is-is yang lain.
Secara metodologis, penafsiran Al-Quran dapat dilakukan melalui dua pendekatan: tekstual dan kontekstual. Ada juga yang menambahkan semi-tekstual. Namun dua pendekatan yang pertama dinilai Imam al-Dzahabi (1915-1977 M) terperosok di jurang kesalahan metodis. Jika aliran tekstualis jatuh pada penghambaan mutlak atas teks, maka aliran kontekstualis jatuh pada pendewaan konteks yang acapkali menyeret teks atas nama kontekstualitas zaman. (hlm. 1-2)
Buku bertajuk “Rekonstruksi Metodologi Kritik Tafsir” ini hendak mendedahkan betapa luas dan rigit-nya dunia penafsiran Al-Quran. Tak melulu penafsiran, namun juga kritik atas penafsiran itu sendiri. Membaca buku ini membuat pembaca mengernyitkan dahi. Bukan karena ide baru yang diperkenalkan penulisnya, namun lebih karena luasnya ilmu Allah SWT. Ya, buku ini mengantarkan kita untuk menyelam di lautan kritik tafsir.
Secara operasional, tulis Ulin, metode baru ini terdiri dari dua wilayah kajian kritis. Pertama, ekstrinsik. Kajian ekstrinsik diorientasikan pada studi kritik personalitas mufasir dengan mengkaji aspek motivasi, ideologi, kompetensi, dan karakter mufasir. Kedua, intrinsik. Untuk kajian intrinsik, diarahkan pada analisis kritis terhadap metodologi dan produk (content) tafsir Al-Quran. Jika kritik metodologis dianalisis melalui dua aspek (teknis dan hermeneutik), maka kritik content tafsir melalui tiga aspek (kualitas, orisinalitas, dan universalitas tafsir).
Penelitian ini berangkat dari beberapa temuan adanya inhirafat (penyelewengan) yang kalau dibiarkan akan berimplikasi kepada pemaknaan kitab suci itu sendiri. Sebab, Al-Quran berbeda sekali dengan Tafsir. Al-Quran itu universal yang melampaui ruang dan waktu. Sementara Tafsir itu nisbi belaka. Meski nisbi, tetap saja ia harus memiliki parameter untuk mengukur kenisbian itu agar tidak menembus batas.
Pada titik ini, Ulinnuha Husnan memandang pentingnya metodologi tafsir untuk mengetahui makna Al-Quran sebagaimana pentingnya metodologi kritik tafsir. Di antara metodologi kritik yang berhasil ia identifikasi, baik yag berkembang di Barat maupun Timur (Islam), antara lain metode kritik sejarah, kritik sastra, hermeneutika, kritik al-inhiraf, dan kritik al-dakhil.
16TD160681.00 | TD 2X1.3072 ULI r | My Library (lantai 2, Tandon) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain