BUKU
Sejarah Peradilan Islam
Peradilan merupakan alat kelengkapan bagi umat Islam dalam melaksanakan hukum Islam. Peradilan agama Islam dikhususkan bagi masyarakat yang beragama Islam di Indonesia, sebagai alat kelengkapan pelaksanaan hukum Islam. Peradilan agama Islam yang tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara disambut baik oleh penduduk Indonesia. Walaupun disadari bahwa peradilan agama khususnya dan ilmu Pengetahuan Hukum Islam belum berkembang secara mencolok di Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Konsepsi-konsepsi hukum Islam telah menyumbangkan potensi pemikiran yang sangat baik bagi perkembangan dan pembinaan hukum Islam di Nusantara.
Peradilan agama memiliki wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Ketiga masalah ini merupakan bagian dari objek garapan fiqh muamalah, dan secara integral merupakan bagian dari ruang lingkup hukum Islam, baik yang berdimensi syariah maupun yang berdimensi fiqh. Syariat Islam yang diperjelas dengan fiqh sudah mengatur permasalahan hukum yang cukup detail. Aturan-aturan ini dijadikan sebagai pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan problematika yang muncul, berkaitan dengan masalah hukum. Akan tetapi, karena muncul perbedaan pendapat dari para ulama mengenai kepastian aturan tersebut, sering problematika yang muncul tidak dapat diselesaikan dengan tuntas.
Salah satu kajian pada buku ini adalah bahwa, pada masyarakat Arab pra-Islam, lembaga peradilan agama belum terbentuk. Oleh karena itu, dalam cara penyelesaian masalah dilakukan melalui arbitrasi (tahkim) kepada orang-orang tertentu atau arbitrator yang dikenal bijaksana dalam menyelesaikan persengketaan. Tokoh sejarah Arab pra-Islam yang dikenal sebagai arbitrator ialah `Abd Al-Mutallib, Zuhair ibn Abu Sulma, Aktsam ibn Sayfi, Hajib ibn Zirrah, Qus ibn Sa`idah Al-Iydi, `Amir ibn Al-Dharib Al-`Udwani, serta Ummayah ibn Abu Salt, dan lain-lain. Dari kalangan perempuan terdapat nama `Amrah binti Zurayb. Bahkan, Nabi Muhammad SAW. sebelum masa kerasulannya pada zaman Jahiliah pernah diminta untuk menjadi arbitrator oleh kaum Quraisy ketika berselisih dalam menentukan kaum yang lebih berhak untuk meletakkan hajar aswad pada saat penyelesaian akhir pembangunan Kabah.
16TD160229.00 | TD 2X4.69 JAS s | My Library (lantai 2, Tandon) | Tersedia |
16SR160229.01 | SR 2X4.69 JAS s C.1 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
16SR160229.02 | SR 2X4.69 JAS s C.2 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
16SR160229.03 | SR 2X4.69 JAS s C.3 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
16SR160229.04 | SR 2X4.69 JAS s C.4 | My Library (Lantai 2, Sirkulasi) | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain