SKRIPSI HKI
Hak Nafkah Bagi Wanita Nusyuz Dalam Perspektif Imam Al Syafii Dan Jender [Suatu Analisis Perbandingan]
Perilaku nusyuz merupakan persoalan awal dalam rumah tangga sebelum menjalar kepada persoalan berikutnya yang lebih parah, yaitu masalah syiqaq. Pada permasalahan nusyuz, sikap mengacuhkan pasangan baru terjadi pada salah satu pihak suami atau istri. Sedangkan pada permasalahan syiqaq, masing-masing pihak sudah menunjukkan antipati terhadap pasangannya. Dalam permasalahan nusyuz, Imam al-Syafi’i, satu di antara empat ulama pendiri madzhab yang terkenal, memiliki pendapat yang berbeda dengan fuqaha’ lain. Dalam kitabnya, al-Umm, Imam al-Syafi’i mengemukakan sebuah pendapat tentang adanya nusyuz dari pihak suami. Dimana nusyuz suami diartikan sebagai bentuk ketidaksukaan terhadap istri, dengan atau tanpa alasan yang jelas. Dalam hal penanganan suami n nusyuz Imam al-Syafi’i berpandangan bahwa hendaknya isteri mengadakan perdamaian dengan cara yang baik bukan malah meninggalkan suami sebagai gambaran dengan menawarkan suaminya menikah lagi atau meminta suaminya untuk menyerahkan gilirannya diserahkan kepada wanita lain (madu). Imam al-Syafi’i berpandangan bahwa nusyuz dapat menyebabkan gugurnya nafkah isteri di tengah budaya patriarkhi yang selalu menempatkan wanita pada posisi inferior dan marginal semakin ditinggalkan. Masyarakat mulai menyadari bahwa menempatkan kaum Hawa pada kedudukan yang setara dengan kaum Adam adalah sebuah keharusan. Secara ideal kaum perempuan Indonesia mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang setara dengan pria di segala bidang, atas dasar inilah penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dalam kaitannya dengan jender dalam skripsi yang berjudul “Hak Nafkah Bagi Wanita Nusyuz Dalam Perspektif Imam Al Syafi’i dan Jender (Suatu Analisis Perbandingan)”.
Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana pengertian istri yang nusyuz menurut pemikiran Imam al-Syafi’i? dan bagaimana analisis gender terhadap pandangan Imam al-Syafi’i tentang hak nafkah bagi wanita nusyuz? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengertian istri yang nusyuz menurut pemikiran Imam al-Syafi’i tentang hak nafkah bagi wanita nusyuz. Kegunaan penelitian ini antara lain secara teoritis diharapkan dapat memberikan masukan bagi Ilmu Pengetahuan khususnya dalam hukum perkawinan Islam dan hukum positif. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kalangan praktisi hukum Islam, ataupun di kalangan hukum Islam dalam penerapannya di Indonesia.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (library research) yaitu suatu bentuk pengumpulan data dan informasi dengan bantuan buku-buku yang ada di perpustakaan dan juga pustaka yang lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer meliputi literature fiqih, sedangkan sumber data sekunder berupa buku-buku yang terkait langsung dengan penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan metode teknik pustaka. Sedangkan teknik analisisnya menggunakan metode content analisis.
Dan dari hasil penelitian ini dapat diketahui yang dimaksud dengan nusyuz isteri menurut Imam al-Syafi’i adalah wujud kedurhakaan isteri terhadap suami yang ditandai dengan sikap pembangkangan terhadap kewajiban-kewajibannya sebagai isteri. Sedangkan nusyuz suami yaitu sikap acuh suami terhadap isteri yang disebabkan adanya kejenuhan yang disebabkan oleh faktor usia atau karena sikap nusyuz dari isteri. Adapun hak nafkah wanita nusyuz dapat gugur karena kedurhakaannya. Wanita nusyuz yang dapat menghilangkan atau menggugurkan hak nafkah wanita nusyuz yaitu ketika isteri menolak ajakan suami untuk bersetubuh tanpa adanya alasan-alasan syar’i dan ketika isteri meninggalkan rumah tanpa izin dari suami selama bukan untuk kepentingan suami. Dalam perspektif jender konteks penetapan hukum pada zaman Imam al-Syafi’i tentang gugurnya hak nafkah nusyuz karena isteri menolak ajakan suami atau meninggalkan rumah tanpa izin bukanlah pandangan yang bias jender karena pada saat dan tempat dirumuskannya ketentuan tersebut memang tidak memungkinkan wanita keluar rumah dengan aman. Kedua dalam hal Imam al-Syafi’i memandang bahwa isteri yang menolak perintah suami laknat malaikat itu terjadi hanya jika penolakan itu terjadi jika penolakan isteri dilakukan tanpa adanya alasan yang dibenarkan oleh syara’. Tentu hal ini sangat sejalan dengan prinsip keadilan dalam jenderk karena disini melihat adanya persamaan hak dimana ketika suami menolak ajakan isteri maka ia pun bisa dikenai laknat malaikat. Dan si isteripun tidak berkewajiban untuk mengikuti setiap perintah suami karena suami dalam hal ini bisa juga dikatakan nusyuz karena tidak memenuhi kebutuhan isteri.
00SK004611.00 | SK AS12.046 MUT h C.0 | My Library | Tersedia |
Tidak tersedia versi lain